Senin, November 30, 2009

Dokumen APBD Pangkep 'Sakti Mandraguna'

PANGKEP MEMILIH--Salah satu keluhan pembangunan yang sering dibicarakan bahkan dirasakan sampai lapisan masyarakat bawah adalah kurangnya akses informasi terhadap sistem penganggaran hasil-hasil pembangunan di Pangkep. Padahal untuk memenuhi hak masyarakat atas informasi publik, Pemerintah Republik Indonesia pada 30 April 2008 mensahkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. UU ini bahkan telah disosialisasikan, namun sampai saat ini warga Pangkep sulit mengakses APBD daerahnya sendiri.

Hak publik atas informasi publik merupakan salah satu hak asasi manusia sebagaimana ditegaskan dalam konsideran United Nation General Assembly 1946. Untuk mewujudkan pengakuan tersebut, maka keterbukaan atas informasi publik merupakan sebuah keniscayaan. Ujung dari penghargaan atas hak asasi adalah kedaulatan rakyat dan terbentuknya penyelenggaraan negara yang baik (good governance).

Sejak digulirkan, reformasi telah membawa upaya perubahan untuk merekonstruksi kekuasaan negara agar lebih demokratis. Sejumlah regulasi berhasil diperjuangkan kelompok pro demokrasi sehingga lahir sejumlah produk undang-undang yang lebih demokratis seperti UU Pokok Pers dan UU Keterbukaan Informasi Publik. Namun, kenyataanya masih jauh panggang dari api. Proses untuk mewujudkannya masih berjalan terseok-seok, bahkan seringkali kontra-produktif dengan cita-cita demokrasi itu sendiri. Karena realitasnya, pemerintah kita justru masih sering inkonsistensi dengan segepok peraturan perundang-undangan yang mereka keluarkan sendiri.

“Power tend to corrupt, absolute power tend to absolute corrupt”. Curigailah kekuasaan dimanapun dia berada, siapun dia yang berkuasa. Bukankah kekuasaan itu cenderung korup sehingga perlu kita awasi? Sebuah ironi, aparat pemerintah yang seharusnya abdi negara dan pelayan masyarakat, justru memosisikan diri sebagai penguasa dan berkuasa atas hak-hak masyarakat sipil.

Salah satunya, berkuasa atas informasi publik. Cenderung tertutup, alergi terhadap masyarakat yang ingin tahu jalannya pemerintahan, khususnya penggunaan anggaran pembangunan. Informasi yang menjadi hak kita telah dikorupsi, lantas bagaimana dengan anggaran ratusan miliar rupiah untuk belanja pembangunan daerah ini dipergunakan?
Diskursus ini sepatutnya tidak menjadi preseden buruk kalangan aktivis sosial, LSM, mahasiswa hingga wartawan di daerah ketika hendak mengakses dokumen publik Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di Pangkep. Ada semacam ketakutan pemerintah kita di daerah ini jika APBD diketahui oleh publik. Apa mungkin karena didalamnya menjelaskan tentang proyek-proyek pembangunan daerah dan pembiayaannya.

Kompilasi berbagai pengalaman itu membuktikan bahwa APBD Pangkep belum bersifat dokumen publik karena publik masih sulit mengaksesnya. APBD justru menjadi dokumen ‘Sakti’ karena hanya dimiliki kalangan terbatas dalam lingkaran kekuasaan. Padahal, biaya pembangunan daerah yang tercantum dalam APBD bukanlah dokumen rahasia negara yang hanya boleh diketahui oleh eksekutif, legislatif, terlebih oleh kroni-kroni mereka yang bernafsu menggarap proyek-proyek yang dibiayai oleh APBD.

Secara politis, episetrum kekuasan didukung para “penjilat” kepentingan dari kelompok oportunis dan ambivalen, serta sikap pemerintah yang tertutup dan anti-kritik, mulai dari sekarang harus kita dekonstruksi agar melebar dan akomodatif terhadap tuntutan hak-hak kaum sipil. Publik selama ini sebenarnya telah menyadari penyelewengan perilaku aparat pemerintah seperti itu terjadi, namun kesadaran itu belum menjadi awal yang fundamental untuk mengkritisinya secara lantang. Hanya bisik-bisik saja, lalu kemudian menguap.

Kuatnya dominasi kekuasaan yang tidak transparan dan akuntabel, didukung ketidakmampuan masyarakat untuk mandiri dan mengkonsolidasikan diri, menjadikan pemerintah seakan berkuasa secara absolut, termasuk berkuasa atas hak-hak publik. Kondisi ini semakin kronis karena kelompok oportunis pragmatis yang menghamba kepada penguasa seringkali muncul sebagai “bemper” pejabat, layaknya helder penjaga yang bertugas melakukan counter opinion jika sang bos terdesak dalam opini publik. Sudah menjadi rahasia umum, ujung-ujungnya mereka minta duit atau kompensasi lain, proyek APBD adalah salah satunya.

Kembali ke soal APBD Pangkep sebagai dokumen sakti, ketertutupan pemerintah pantas mengundang tanya, ada apa dibalik ketakutan mereka membuka pintu informasi buat masyarakat? Bukankah anggaran untuk pembangunan bukan diambil dari kantong pribadi mereka, tetapi dipungut dari retribusi dan pajak masyarakat? Hak masyarakat terhadap keterbukaan informasi jelas-jelas telah dikebiri. Kalau dokumen pembukuan uang rakyat tidak boleh diketahui publik, patut kita duga ada sesuatu yang tidak beres dalam pelaksanaan program kerja pemerintah.

Sebagai bagian dari pelaksanaan good governance, mestinya anggaran publik bersifat terbuka dimana masyarakat leluasa dapat mengakses, mengkritisi, sekaligus mengontrol penggunaan anggaran yang tertuang dalam APBD Pangkep. Transparansi anggaran merupakan bagian dari corak birokrasi yang bersih, akuntabel, dan responsif. Prinsip transparansi dan kejujuran yang diikuti dengan keterbukaan pemerintah terhadap akses publik pada informasi APBD, agar masyarakat lebih mudah mengawasi penggunaan anggaran selama satu tahun berjalan, baik dari sisi pendapatan, belanja, maupun pembiayaan.

Dari situ, masyarakat bisa mengetahui prioritas penggunaan anggaran bagi pembangunan. Seberapa besar dana digelontorkan untuk belanja rutin aparatur (pegawai), dan seberapa besar dana untuk belanja pembangunan yang pro rakyat. Dengan begitu pula, eksekutif selaku pemegang mandat atas implementasi anggaran menjadi lebih berhati-hati untuk tidak terjebak dalam lingkaran KKN (korupsi, kolusi, nepotisme). Paling tidak, mempersempit ruang gerak mereka yang mau coba-coba mencari kekayaan tidak halal dengan menyimpangkan uang rakyat.

Perilaku sebagian pejabat publik di birokrasi pemerintah Pangkep sejauh ini masih banyak yang memosisikan diri seakan sebagai pemilik kekuasaan, bukan sebagai pelayan masyarakat. Menjadikan elemen stakholder lainnya sebagai sub-ordinat mereka. Menerapkan prosedur birokrasi yang berbelit, pelayanan lambat, tidak membuka akses informasi, menciptakan kesan mereka orang paling penting sejagat, merupakan alat untuk menunjukkan kuasanya.

Kondisi ini menunjukkan betapa kehidupan yang demokratis belum sepenuhnya terwujud di daerah Pangkep. Kehidupan demokratis tidak cukup hanya dilihat dari warga masyarakat sudah bebas memilih wakil rakyatnya (anggota legislatif) secara langsung dan memilih kepala daerahnya secara langsung. Masyarakat demokratis harus ditandai pula dengan adanya pengakuan terhadap hak publik atas informasi (baca:mendapat dan menggunakan).**(wp)

Baca juga koran, disini

Minggu, November 29, 2009

Balon Bupati Berebut Simpati di Hari Idul Adha


PANGKEP MEMILIH -- Momentum hari raya iduladha dimanfaatkan kandidat Pilkada Pangkep 2010 untuk menarik simpati masyarakat. Bupati Pangkep, Syafrudin Nur, yang secara resmi telah diusung Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Kebangsaan (PDK) misalnya, menggelar open house di rumah jabatan, Jumat, 27 November.

Pada kesempatan itu, Syafrudin membagi-bagikan uang pecahan Rp5000 kepada anak-anak kecil.
Open house digelar setelah Syafrudin salat id di Alun-Alun Citra Mas Pangkajene. Sebelum salat id, Syafrudin menyampaikan berbagai keberhasilan dan konsep program jika terpilih kembali menjadi bupati periode 2010-2015.

Dia juga menyempatkan diri salat Jumat di Kelurahan Kampung Malise, Kelurahan Pundata Baji, Labakkang. Satu ekor sapi jantan dan uang Rp 5 juta untuk renovasi masjid di kampung Malise pun disumbangkan.

Juru bicara Syafrudin, Jufri Maudhu, mengatakan bahwa selain sumbangan di Kampung Malise, Syafrudin juga menyumbang tiga ekor sapi jantan untuk dikurbankan dan dagingnya dibagikan kepada warga miskin.

Di tempat terpisah, Ketua DPRD Pangkep, Syamsuddin Hamid, juga menggelar open house. Informasi yang dihimpun Fajar, partisipasi dan kunjungan masyarakat ke acara Ketua DPD II Partai Golkar Pangkep itu jauh lebih besar.

Berbagai komunitas antusias mengikuti acara itu. Ketua Tim Pemenangan Syamsuddin, Arfan Tualle, mengatakan bahwa tingginya antusiasme masyarakat sebagai bentuk besarnya harapan kepada Syamsuddin untuk memimpin Pangkep. Masyarakat yang hadir mulai dari Balocci hingga Mandalle.

"Ini sebagai bukti bahwa Pak Syamsuddin miliki basis massa yang besar sehingga pantas memimpin daerah ini. Masyarakat yang hadir tidak dalam kondisi terpaksa atau diakomodasi," sebut Arfan.

Sabtu, November 28, 2009

Bukti Kesemrawutan Anggaran, Defisit APBD Pangkep menembus angka Rp.38 miliar

PANGKEP MEMILIH -- Masyarakat dibuat bingung mengapa APBD Pangkep mengalami defisit. Bukankah defisit berarti tekor? Itu berarti kita harus utang. Siapa yang harus diutangi? Apa pun persoalannya, defisit berarti kita kehilangan sesuatu. Karena yang defisit APBD, berarti warga Pangkeplah yang telah kehilangan sesuatu.


Defisit anggaran memang sebuah kebijakan anggaran. Artinya, ada alasan mengapa itu terjadi dan dilakukan. Untuk APBN, kita bisa memaklumi karena gejolak perubahan ekonomi dunia memang sering terjadi. Tetapi untuk APBD, gejolak ekonomi makro tidak bisa jadi alasan. Kalaupun terjadi perubahan harga-harga, bisa disiasati dengan membelanjakan dana tersedia yang memang sudah dianggarkan secukupnya. Tidak usah belanja melebihi uang yang kita punya. Kalau begitu, pertanyaan atas defisit APBD bukanlah mengapa itu terjadi, tetapi mengapa dilakukan.


Berbeda dengan model penganggaran berimbang yang dianut sebelumnya. Defisit anggaran memang dimungkinkan dalam sistem penganggaran publik yang dianut saat ini. Dalam sebuah sistem anggaran, defisit anggaran maupun surplus anggaran sesungguhnya hanyalah sebuah pilihan. Tetapi, mengapa surplus anggaran tak pernah menjadi pilihan?


Tidak terserapnya anggaran pada waktu yang ditetapkan mengindikasikan buruknya perencanaan pembangunan. Bisa jadi, program memang tidak realistis. Sulit diimplementasikan karena bukan kebutuhan rakyat yang sesungguhnya. Yang lebih memprihatinkan ialah defisit APBD di luar program yang tidak terealisasi pada APBD tahun sebelumnya. Artinya, RAPBD saat ini memang dibuat “lebih besar pasak daripada tiang”. Belanja yang direncanakan lebih besar daripada penerimaan yang diprediksikan.


Apalagi dalam menyusun APBD, aturannya, penganggaran pengeluaran harus didukung dengan adanya kepastian tersedianya penerimaan dalam jumlah yang cukup. Defisit yang begini hanya bisa ditutupi dengan mencairkan dana cadangan (tabungan daerah), menjual aset yang dimiliki atau utang. Hanya, kebijakan anggaran semacam itu menimbulkan banyak pertanyaan.


Bukankah Pangkep juga berada pada posisi terancam terlanda musibah? Karena itu, dana cadangan harus tersedia secukupnya. Kalau menjual aset, apakah aset tersebut sudah tidak berguna? Tidakkah aset tersebut sebaiknya digunakan sehingga menghasilkan uang? Bukan untuk membiayai pengeluaran yang di luar kemampuan.


Sebaliknya, kalau harus utang, akankah program yang dibiayai utang nanti mendatangkan keuntungan serta mampu menutupi pokok utang dan bunganya? Jangan-jangan......??? Defisit anggaran itu memang menjadi kesengajaan para pengambil kebijakan Pemkab. Dengan dalih : "Biarlah ini dilakukan, toh hanya akan menjadi beban pemerintahan mendatang". Dengan demikian, program-program titipan bisa dilakukan.


Tentunya ini merupakan preseden buruk bagi penyusunan anggaran kedepan. Pada masa yang akan datang, defisit anggaran akan dianggap menjadi suatu hal yang biasa. Bukan tidak boleh defisit, tapi alangkah baiknya kalau dibiasakan masih ada kelebihan anggaran sehingga sektor-sektor yang akan menggerakan ekonomi masyarakat dapat terbantu.


Atau mungkin juga karena pengalaman. Pengalaman, karena pos penerimaan bisa dimainkan. Realisasi penerimaan sering melebihi target. Penerimaan daerah -kalau dibutuhkan- sebetulnya masih bisa dioptimalkan. Artinya, selama ini pos rencana penerimaan pendapatan daerah memang diminimalkan.


Kebijakan anggaran memang merupakan politik anggaran. Mereka yang berwenang memiliki hak untuk menentukan. Tapi, apakah mereka harus membuat kebijakan yang mengingkari MANDAT RAKYAT? **




Kamis, November 19, 2009

PANGKEP MEMILIH- Guna memberikan pelayanan optimal bagi pelanggan PDAM di Kabupaten Pangkep di musim kemarau ini, pihak PDAM melakukan pembagian air bersih secara gratis. Kegiatan ini diduga sebagai perintah langsung oleh Bupati Pangkep yang juga merupakan Incumbent pada Pilkada Bupati Pangkep yang tidak lama lagi berlangsung yaitu tahun 2010. Program ini diduga oleh beberapa warga Pangkep sarat dengan muatan poilitis. Perintah tersebut ditujukan kepada pihak Dinas Kebersihan, sebanyak 7 unit kendaraan diturunkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat utamannya para pelanggan PDAM. Program tersebut telah mulai berjalan selama sebulan ini, dan katanya, pihak PDAM mengutamakan pelayanan optimal kepada para pelanggan dan masyarakat umum. Program pembagian air gratis ke masyarakat tersebut dilakukan sebanyak 2 kali dalam sehari yang mampu memenuhi 10 kubik air bersih kepelanggan dengan menggunakan 7 unit kendaraan pengangkutan air. Ke tujuh kendaran tersebut diantaranya merupakan kendaraan milik PDAM dan dinas kebersihan. Penyebab kurang maksimalnya pelayanan PDAM akibat kurangnya debit air, listrik, banyaknya jaringan pipa tua serta diperburuk dengan adanya pelebaran jalan. Selain sejumlah permasalahan yang dialami PDAM Pangkep terkait masalah pelangan PDAM yang belum memiliki meteran air yang berjumlah kurang lebih 4000 juga merupakan masalah pelik yang dialami PDAM.

Terkait pelaksanaan pembagian air bersih tersebut, kami dari Tim Pangkep Memilih mencoba untuk menelusuri dan mengamati cara pendistribusiannya. Kenyataannya, tidak semua wilayah yang berada didalam kota kekurangan air dan pelanggan PDAM tidak teraliri air dapat dijangkau oleh mobil tangki pengangkut air bersih. Ironisnya, salah satu wilayah yang terletak di pusat kota Pangkajene yaitu jalan Sultan Hasanuddin, sejak bulan Ramadhan lalu sudah tidak dialiri air ledeng dari PDAM, padahal Tower dan Kantor PDAM berlamat di Jalan Sultan Hasanudin. Selain itu, dari Seorang warga yang identitasnya tidak ingin disebut, mengatakan kalau daerahnya jarang disinggahi oleh “Mobil Tangki” bantuan Pemda tersebut. Ini dikarenakan ada beberapa rumah warga di wilayah tersebut memajang “Baliho Calon Bupati Pangkep” yang lain. Mungkin karena sudah diperintahkan oleh ‘atasannya’ atau karena inisiatif sendiri, sopir Mobil Tangki tersebut kelihatan ‘alergi’ untuk mampir di sekitar rumah warga bila dipagar rumah warga terpajang baliho selain baliho Incumbent. “Ini tindakan yang sangat keterlaluan!” kata seorang warga yang pada Pilkada 2005 lalu memilih Syafrudin Nur sebagai bupati. ”Tenamo nakke kupilei kammayya antu sallang,” ujarnya dalam bahasa Makassar. “Semestinya mobil tangki itu adil dalam pembagian air dan tidak pilih kasih,” katanya sembari menahan “Pabendi” (baca: Penjaja air bersih keliling dengan menggunakan Dokar sebagai alat pengangkut).

Kamis, November 12, 2009

Demokrasi harus mengawal Transparansi Pendanaan Politik di Pangkep

Pangkep Memilih - Tata kelola pendanaan politik yang transparan dan akuntabel adalah kunci tegaknya demokrasi di Pangkep.Tanpa itu maka Pangkep akan sangat mudah terjerumus dalam sistem oligarki, di mana kekuasaan ditentukan oleh pemilik modal.
Partai politik sebagai pengejawantahan sistem politik yang demokratis, sehingga perlu adanya pengaturan secara ketat terhadap pengelolaan dana partai.

Dana politik harus transparan karena akan berpengaruh terhadap kualitas demokrasi di Pangkep. Politik sudah menjadi alat untuk mendekatkan diri kepada sumber ekonomi.
Tata kelola dana politik harus dapat dipertanggungjawabkan untuk menjamin demokrasi karena tanpa tata kelola yang baik, pendanaan politik bisa dimanfaatkan berbagai kepentingan.

Selain itu, transparansi keuangan politik memudahkan pengawasan publik karena masyarakat Pangkep kini semakin kritis dan cerdas sehingga ingin mengetahui dengan jelas semua masalah. Terkait hal tersebut, hendaknya kelompok pelajar, mahasiswa, cendikiawan dan aktivis LSM di Pangkep yang secara terbuka dan lantang meneriakkan dukungan terhadap partai dan Calon Bupati segera melakukan "Taubat Politik" dan segera kembali ke "Barak" menjadi kelompok bersih dan independent serta melakukan riset untuk mengetahui sejauh mana transparansi pendanaan politik yang ada di Pangkep. Kelompok ini seyogyanya tidak memberi pembelajaran Politik nyeleneh kepada masyarakat.

Kaitannya dengan Pilkada Pangkep 2010, yang perlu dicatat pula bahwa walaupun saat ini merupakan pemilihan langsung, tapi ada dugaan semua partai tidak mensosialisasikan calon bupati pilihannya sebelum memutuskan, sehingga masih dimungkinkan terjadinya money politic antara calon bupati dan partai. Seharusnya partai politik dalam menyeleksi calon bupatinya melibatkan rakyat sebagai pemilik tunggal kedaulatan.

Sistem politik di Pangkep masiih butuh banyak perbaikan dalam hal transparansi dan akuntabilitas. "Tata kelola pendanaan politik sangat menentukan independensi dan kualitas representasi dilevel birokrasi dan parlemen. Pendanaan partai politik yang transparan dan akuntabel, menjamin bahwa anggota parlemen tidak mewakili kepentingan pemodal dalam melaksanakan kerjanya.