Hak publik atas informasi publik merupakan salah satu hak asasi manusia sebagaimana ditegaskan dalam konsideran United Nation General Assembly 1946. Untuk mewujudkan pengakuan tersebut, maka keterbukaan atas informasi publik merupakan sebuah keniscayaan. Ujung dari penghargaan atas hak asasi adalah kedaulatan rakyat dan terbentuknya penyelenggaraan negara yang baik (good governance).
Sejak digulirkan, reformasi telah membawa upaya perubahan untuk merekonstruksi kekuasaan negara agar lebih demokratis. Sejumlah regulasi berhasil diperjuangkan kelompok pro demokrasi sehingga lahir sejumlah produk undang-undang yang lebih demokratis seperti UU Pokok Pers dan UU Keterbukaan Informasi Publik. Namun, kenyataanya masih jauh panggang dari api. Proses untuk mewujudkannya masih berjalan terseok-seok, bahkan seringkali kontra-produktif dengan cita-cita demokrasi itu sendiri. Karena realitasnya, pemerintah kita justru masih sering inkonsistensi dengan segepok peraturan perundang-undangan yang mereka keluarkan sendiri.
“Power tend to corrupt, absolute power tend to absolute corrupt”. Curigailah kekuasaan dimanapun dia berada, siapun dia yang berkuasa. Bukankah kekuasaan itu cenderung korup sehingga perlu kita awasi? Sebuah ironi, aparat pemerintah yang seharusnya abdi negara dan pelayan masyarakat, justru memosisikan diri sebagai penguasa dan berkuasa atas hak-hak masyarakat sipil.
Salah satunya, berkuasa atas informasi publik. Cenderung tertutup, alergi terhadap masyarakat yang ingin tahu jalannya pemerintahan, khususnya penggunaan anggaran pembangunan. Informasi yang menjadi hak kita telah dikorupsi, lantas bagaimana dengan anggaran ratusan miliar rupiah untuk belanja pembangunan daerah ini dipergunakan?
Diskursus ini sepatutnya tidak menjadi preseden buruk kalangan aktivis sosial, LSM, mahasiswa hingga wartawan di daerah ketika hendak mengakses dokumen publik Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di Pangkep. Ada semacam ketakutan pemerintah kita di daerah ini jika APBD diketahui oleh publik. Apa mungkin karena didalamnya menjelaskan tentang proyek-proyek pembangunan daerah dan pembiayaannya.
Kompilasi berbagai pengalaman itu membuktikan bahwa APBD Pangkep belum bersifat dokumen publik karena publik masih sulit mengaksesnya. APBD justru menjadi dokumen ‘Sakti’ karena hanya dimiliki kalangan terbatas dalam lingkaran kekuasaan. Padahal, biaya pembangunan daerah yang tercantum dalam APBD bukanlah dokumen rahasia negara yang hanya boleh diketahui oleh eksekutif, legislatif, terlebih oleh kroni-kroni mereka yang bernafsu menggarap proyek-proyek yang dibiayai oleh APBD.
Secara politis, episetrum kekuasan didukung para “penjilat” kepentingan dari kelompok oportunis dan ambivalen, serta sikap pemerintah yang tertutup dan anti-kritik, mulai dari sekarang harus kita dekonstruksi agar melebar dan akomodatif terhadap tuntutan hak-hak kaum sipil. Publik selama ini sebenarnya telah menyadari penyelewengan perilaku aparat pemerintah seperti itu terjadi, namun kesadaran itu belum menjadi awal yang fundamental untuk mengkritisinya secara lantang. Hanya bisik-bisik saja, lalu kemudian menguap.
Kuatnya dominasi kekuasaan yang tidak transparan dan akuntabel, didukung ketidakmampuan masyarakat untuk mandiri dan mengkonsolidasikan diri, menjadikan pemerintah seakan berkuasa secara absolut, termasuk berkuasa atas hak-hak publik. Kondisi ini semakin kronis karena kelompok oportunis pragmatis yang menghamba kepada penguasa seringkali muncul sebagai “bemper” pejabat, layaknya helder penjaga yang bertugas melakukan counter opinion jika sang bos terdesak dalam opini publik. Sudah menjadi rahasia umum, ujung-ujungnya mereka minta duit atau kompensasi lain, proyek APBD adalah salah satunya.
Kembali ke soal APBD Pangkep sebagai dokumen sakti, ketertutupan pemerintah pantas mengundang tanya, ada apa dibalik ketakutan mereka membuka pintu informasi buat masyarakat? Bukankah anggaran untuk pembangunan bukan diambil dari kantong pribadi mereka, tetapi dipungut dari retribusi dan pajak masyarakat? Hak masyarakat terhadap keterbukaan informasi jelas-jelas telah dikebiri. Kalau dokumen pembukuan uang rakyat tidak boleh diketahui publik, patut kita duga ada sesuatu yang tidak beres dalam pelaksanaan program kerja pemerintah.
Sebagai bagian dari pelaksanaan good governance, mestinya anggaran publik bersifat terbuka dimana masyarakat leluasa dapat mengakses, mengkritisi, sekaligus mengontrol penggunaan anggaran yang tertuang dalam APBD Pangkep. Transparansi anggaran merupakan bagian dari corak birokrasi yang bersih, akuntabel, dan responsif. Prinsip transparansi dan kejujuran yang diikuti dengan keterbukaan pemerintah terhadap akses publik pada informasi APBD, agar masyarakat lebih mudah mengawasi penggunaan anggaran selama satu tahun berjalan, baik dari sisi pendapatan, belanja, maupun pembiayaan.
Dari situ, masyarakat bisa mengetahui prioritas penggunaan anggaran bagi pembangunan. Seberapa besar dana digelontorkan untuk belanja rutin aparatur (pegawai), dan seberapa besar dana untuk belanja pembangunan yang pro rakyat. Dengan begitu pula, eksekutif selaku pemegang mandat atas implementasi anggaran menjadi lebih berhati-hati untuk tidak terjebak dalam lingkaran KKN (korupsi, kolusi, nepotisme). Paling tidak, mempersempit ruang gerak mereka yang mau coba-coba mencari kekayaan tidak halal dengan menyimpangkan uang rakyat.
Perilaku sebagian pejabat publik di birokrasi pemerintah Pangkep sejauh ini masih banyak yang memosisikan diri seakan sebagai pemilik kekuasaan, bukan sebagai pelayan masyarakat. Menjadikan elemen stakholder lainnya sebagai sub-ordinat mereka. Menerapkan prosedur birokrasi yang berbelit, pelayanan lambat, tidak membuka akses informasi, menciptakan kesan mereka orang paling penting sejagat, merupakan alat untuk menunjukkan kuasanya.
Kondisi ini menunjukkan betapa kehidupan yang demokratis belum sepenuhnya terwujud di daerah Pangkep. Kehidupan demokratis tidak cukup hanya dilihat dari warga masyarakat sudah bebas memilih wakil rakyatnya (anggota legislatif) secara langsung dan memilih kepala daerahnya secara langsung. Masyarakat demokratis harus ditandai pula dengan adanya pengakuan terhadap hak publik atas informasi (baca:mendapat dan menggunakan).**(wp)
Baca juga koran, disini